Di Cengkeram Kaki GARUDA

          Hidup di negara tercinta Indonesia ini, buat teman-teman saya yang dari luar negeri bagaikan hidup di surga. Alam yang indah, cuaca yang bersahabat sepanjang tahun, cukup sinar matahari, punya pantai, gunung, sungai yang tak terhitung banyaknya. Ya..harus di akui sumber daya alam Indonesia adalah mungkin yang terlengkap di dunia. Sampai pembicaraan masuk ke ranah kehidupan sosial. 
         Biasanya mereka akan menanyakan pertanyaan yang tidak biasa di tanyakan di luar negeri yaitu, kamu agamanya apa? Dan kalau sudah begini pembicaraan akan jadi sangat panjang.  Karena persepsi mereka tentang negara Islam terbesar di dunia mungkin akan sedikit berbeda ketika mereka mulai traveling ke Indonesia Timur. Dan harus saya akui bahwa cerita tentang intoleransi yang terjadi akibat kemiskinan akan menjadi cerita yang menarik. Apalagi kalau di ceritakan oleh orang yang pernah menjadi korban. Seperti yang saya alami ketika saya masih jadi mahasiswa di slah satu perguruan tinggi di Lombok. Bagaimana gereja di bakar, bagaimana mereka mendatangi kos-kos an saya untuk sweeping "anjing-anjing Kristen". Waktu itu keadaan sangat menyakitkan karena saya harus hidup di pengunsian di Batalyon selama 1 bulan, ayah saya baru meninggal, perut saya yang baru di operasi robek 6 jahitan, meninggalkan bekas sampai hari ini, dan saya harus ikut ujian dengan di kawal tentara karena saya trauma. Kampus saya tapat berada di samping gereja Bung Karno. Jadi kalau saya menoleh yang terlintas adalah bayangan saat saudara-saudara sebangsaku tidak menginginkan kehadiran agama Kristen Katolik, Protestan, dan Kristen yang lain di tanah Lombok. Tragis memang. Apalagi melihat saudara-saudara yang rumahnya di bakar, di jarah, mereka kehilangan segalanya
         Tapi ada banyak hal juga yang saya syukuri dari kejadian itu. Seperti biasa saya selalu melihat sisi baik dari suatu peristiwa, karena itu akan sangat membantu proses pemulihan. Baik jiwa maupun raga. Pada saat di pengungsian, banyak teman-teman muslim yang menjenguk saya. Saya bertemu dengan sesama korban kerusuhan dan ada banyak cerita yang indah dan sangat berguna buat saya yang pada saat itu  baru berumur 18 tahun. Saya berlatih maen catur. Bisa cuci mata juga melihat tentara-tentara ganteng :).
          Namun sebagai mahasiswa pada saat itu kami juga berkumpul sambil minum kopi dan berpikir kenapa hal ini bisa terjadi. Ada banyak opini yang muncul pada saat itu di antara nya:

1. Ini kerjaan para laskar Jihad yang baru tiba dari Ambon
2. Ini di design oleh TNI (seperti biasa, TNI tercinta selalu jadi kambing hitam, padahal di tempat mereka kami berlindung)
3. Ini merupakan persaingan antar destinasi, Lombok dan Bali, karena pada saat itu pariwisata Lombok sudah sangat maju dan menjadi saingan berat buat Bali.
4.Ini akibat sakit hati masyarakat akan keberadaan gereja-gereja pantekosta dan Bethani yang menjadikan ruko sebagai gereja, rumah tinggal bahkan kos-kosan sebagai gereja, dan kadang-kadang gereja mewah tersebut di bangun di kawasan kumuh.

Ada begitu banyak ide-ide liar yang berkembang di saat itu bagian dari kepolosan mahasiswa dari kampung yang tak mengerti politik, dan di tambah dengan ide-ide dari mahasiswa yang sedikit pimtar dengan membaca berbagai buku dan merasa dirinya seperti agen Mossaad.

Ada begitu banyak hal yang terjadi setelah itu, pada saat kami akhirnya harus pulang meninggalkan Lombok untuk pulang ke daerah asal, numpang truk sapi di tutup terpal, numpang kapal laut gratis di biayai pemerintah, di terima di daerah asal dengan upacara adat, membuat orang-orang Lombok yang biasanya jadi teman maen judi bola guling ngibrit ketakutan, entah kenapa, padahal kami hanya ingin kembali bukan balas dendam. 

Tapi itulah Indonesia, ketika Garuda di buru agar melepaskan cengkeramannya. Entah sampai kapan dia bertahan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oleh-oleh dari Ruteng